Ibu Mengepel Lantai Setiap Hari
Painting:Ds Bre' Iswoyo
Ibu mengepel lantai setiap hari
dan mewajibkan kami selalu mencuci tangan
sebelum dan sesudah
melakukan apa saja.
“Kita harus bersih,” katanya,
“sebab kuman selalu tidak terduga.”
Memang, kuman selalu tak terduga,
maka menjadi bersih adalah niscaya.
Kata ibu, udara berserbuk di sekitar kami
—mengandung debu, pasir, dan karbon.
Juga suara-suara bising
semacam fitnah
selalu ingin masuk ke hati kami
lewat telinga. Juga, gambar-gambar biru,
hitam, abu-abu, dan jingga
selalu menuntut mata merekamnya
agar tertanam menjadi ingatan
di kepala kami.
Ingatan yang abadi
Ibu mengepel lantai setiap hari.
Belakangan kami tahu kalau ibu
hanya ingin menghapus jejak ayah
dari rumah, dari kenangan,
yang seluruhnya kesedihan.
Ibu hanya ingin tak sedih
membayangkan ayah,
sebelum laki-laki itu menjelma jadi burung,
sebelum terbang meninggalkan sarang.
“Sebelum dia terkontaminasi,”
Igau ibu dalam mimpi.
Memang, ayah telah terkontaminasi,
sejak kuman-kuman menggerogoti hatinya,
hingga sering pulang tanpa membawa hati.
Tapi Ibu sebetulnya terkontaminasi,
kuman-kuman lain menggerogoti hatinya,
seperti sekawanan rayap
menggerogoti kaki-kaki meja.
Sebelum rubuh,
Ibu mengaduk karbol
ke dalam gelas susu:
“Minumlah!” katanya,
“Sebab bersih adalah niscaya!”
•Budi Hatees
Budi Hatees lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada 3 Juni 1972. Menulis puisi, cerpen, esai, novel, dan melakukan penelitian. Karyanya disiarkan di Kompas, Koran Tempo, Majalah Tempo, Majalah Horison, Republika, Media Indonesia, dan puluhan buku.
Saat ini menjadi peneliti di bidang komunikasi dan punya minat besar terhadap masalah sejarah dan kebudayaan. Mendirikan media online, mengelola Penerbit Pustaha, dan menjadi trainer dalam pelatihan menulis secara online maupun offline.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar