Jejak Ujaran Kebencian Digital
Perkembangan teknologi saat ini sangat luar biasa, salah satunya media sosial yang telah membawa perubahan besar dalam cara masyarakat berkomunikasi dan menyampaikan pendapat. Kebebasan berekspresi yang semakin luas sering kali tidak diiringi dengan tanggung jawab, sehingga menimbulkan permusuhan digital akibat banyaknya ujaran kebencian (hate speech).
@satgasnasNews™📎JAKARTA
Ujaran kebencian tidak hanya melukai individu atau kelompok tertentu, tetapi juga berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Salah satu kasus yang menarik perhatian publik baru-baru ini adalah kasus ujaran kebencian yang diunggah oleh akun yang viral dikenal publik dengan nama Resbob. Konten dalam unggahan tersebut berisi pernyataan yang menyinggung dan merendahkan suku Sunda dengan gaya bahasa sarkasme yang sangat jelas mengandung stereotip negatif dan penghinaan terhadap Suku Sunda.
Bukan saja karena penulis asli pituin sunda, akan tetapi memang ujaran kebencian dalam unggahan viral dari akun diduga Resbob itu terasa sangat kasar dan menyakitkan, nadanya merendahkan bahkan menghina dan bahasanya kotor, sehingga wajar bila menyinggung perasaan masyarakat Sunda.Tak heran media sosial akhir-akhir ini dipenuhi komentar pedas dan perdebatan emosional dari warganet, termasuk implikasinya di ranah hukum.
Kini orang terduga pemilik akun yang viral dikenal sebagai Resbob itu sudah tertangkap pihak yang berwajib. Tanpa bermaksud mendahului proses hukum dan keputusan final badan pengadilan, karena salah tidaknya seseorang ditentukan oleh badan peradilan, penulis sekedar ingin menyoroti kasus unggahan akun yang viral dengan nama Resbob itu dari potensi implikasi pelanggaran hukumnya dengan tujuan agar masyarakat berhati-hati dan pelaku jera dalam bermedsos ria sehingga kejadian ini tidak terulang di masa yang akan datang karena dipastikan akan berhadapan dengan proses hukum sesuai ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Pengertian Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian adalah ungkapan baik ;isan maupun tertulis yang mengandung unsur penghinaan, provokasi, hasutan, atau kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan suku, agama, ras, antargolongan (SARA), gender, atau identitas tertentu.
Ujaran kebencian berbeda dengan opini pribadi, kritik, atau candaan, karena disampaikan dengan tutur bahasa atau cara yang tidak santun sehingga memiliki potensi dampak sosial yang serius di masyarakat.
Secara hukum,penulis belum menemukan ketentuan perundang-undangan yang dengan definitif menerangkan pengertian dari istilah ujaran kebencian (hate speech)itu.
Penulis baru menemukan definisi Ujaran Kebencian (hate speech) dam Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian, yang menyebutkan bahwa:
“Ujaran kebencian adalah perbuatan yang berupa ucapan, tulisan, tindakan, atau pertunjukan yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, antargolongan (SARA).”
Kasus Unggahan Diduga Resbob
Kasus unggahan oleh akun yang dikenal sebagai Resbob bermula dari sejumlah unggahan di media sosial yang dinilai mengandung unsur ujaran kebencian terhadap masyarakat Sunda. Konten tersebut dengan cepat menyebar dan menjadi viral, memicu reaksi keras dari masyarakat serta laporan kepada aparat penegak hukum. Peristiwa ini menimbulkan polarisasi opini publik, di mana sebagian pihak menganggap unggahan tersebut sebagai bentuk kebebasan berekspresi, sementara pihak lain menilai konten tersebut telah melanggar norma hukum dan etika.
Dari perspektif komunikasi digital, kasus diduga Resbob menunjukkan bahwa media sosial dapat mempercepat penyebaran konflik. Unggahan yang bersifat provokatif dapat dengan mudah disalahartikan dan memicu kemarahan publik. Kurangnya literasi digital juga menjadi faktor penting, karena banyak pengguna belum memahami bahwa aktivitas di media sosial memiliki konsekuensi hukum.
Dari sisi hukum, ujaran kebencian tidak hanya dinilai dari sekedar niat pelaku, tetapi juga dari dampak yang ditimbulkan, seperti potensi permusuhan, diskriminasi, dan gangguan ketertiban umum. Ujaran kebencian yang dilontarkan oleh akun yang viral dikenal sebagai Resbob tersebut dipandang sebagai pelanggaran berat karena berpotensi :
1. mengandung rasa benci kepada masyarakat etnis Sunda.
2. menimbulkan permusuhan dan memecah persatuan
3. memicu konflik sosial
4. menimbulkan kekerasan
5. merusak kerukunan masyarakat.
Analisa dari Persepektif Hukum
Dalam hukum Indonesia, ujaran kebencian di Medsos dapat dijerat berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan, seperti UU ITE dan KUHP dan beberapa ketentuan hukum yang mengatur larangan pernyataan permusuhan atau kebencian terhadap suatu golongan masyarakat.
1. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Ujaran kebencian di media sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 dan UU Nomor 1 Tahun 2024.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE menyatakan:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).”
Unsur-unsur Pidana Ujaran kebencian dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, terdiri dari :
1. Setiap orang.
Pelaku adalah subjek hukum (orang perseorangan).
2. Dengan sengaja dan tanpa hak : Ada unsur kesengajaan dalam menyampaikan pernyataan tersebut dan dilakukan tanpa dasar hukum yang sah.
3. Menyebarkan informasi
Informasi disebarkan melalui media elektronik (media sosial, pesan online, situs, dsb.).
4. Ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
Ada tujuan atau akibat yang mengarah pada kebencian/permusuha.
5. Terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu
Sasaran kebencian harus jelas, baik orang maupun kelompok.
6. Berdasarkan SARA
Yaitu suku, agama, ras, dan antargolongan.
Ancaman sanksi hukum atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 28 ayat (2) UUITE tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2) UU ITE, yang antara lain berbunyi : “Pelaku dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.” Jadi jelas, dalam konteks kasus Resbob, unggahannya dinilai merendahkan, menghina dan menyerang masyarakat Sunda yang berpotensi menimbulkan permusuhan dalam hal mana UUTE menyatakan bahwa setiap orang dilarang menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU ITE, yaitu pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak satu miliar rupiah.
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Selain UU ITE, ujaran kebencian juga dapat dijerat melalui KUHP, antara lain:
Pasal 156 KUHP, yang mengatur tentang pernyataan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu golongan masyarakat.
Bunyinya :
“Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau pidana denda.”
Unsur-unsur pidananya:
a. Barang siapa
Setiap orang yang berbuat atau sebagai pelaku.
b. Di muka umum
Dilakukan di tempat umum atau diketahui orang banyak.
c. Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan.
Ada ucapan, tulisan, atau tindakan yang bersifat menghina atau membenci.
d. Terhadap suatu golongan rakyat Indonesia.
Ditujukan kepada golongan, ras, suku, agama, asal daerah, atau kelompok tertentu.
Pasal 156a KUHP mengatur penodaan agama apabila ujaran kebencian berkaitan dengan isu keagamaan.
Bunyinya : ”Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Unsur pidananya ; a. Barang Siapa Setiap orang. b. Dengan sengaja.Ada niat atau kesadaran dalam perbuatannya. c. Di muka Umum Dilakukan secara terbuka. d. Melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan Tindakan yang merendahkan atau menyerang agama. e. Terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Jadi, apabila unsur-unsur pidana dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan Pasal 156 dan Pasal 156a KUHAP, sebagaimana disebutkan di atas terpenuhi, maka pelaku unggahan yang dikenal sebagai Resbob itu dapat dipidana. Namun demikian keputusan ada di tangan badan peradilan hingga mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 3. Surat Edaran Kapolri Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian memberikan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus ujaran kebencian. Surat edaran ini menegaskan bahwa ujaran kebencian dapat berbentuk penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, provokasi, penghasutan, maupun penyebaran berita bohong, termasuk yang dilakukan melalui media sosial. Selain itu, Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Konstitusi Kebebasan berpendapat dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Namun, kebebasan tersebut memiliki batasan berupa tanggung jawab terhadap ketertiban dan keamanan umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang wajib menghormati hak dan kebebasan orang lain serta tunduk pada pembatasan demi ketertiban dan keamanan umum. Dengan demikian, kebebasan berekspresi tidak dapat dijadikan alasan untuk menyebarkan ujaran kebencian. Dampak Sosial Kasus Resbob Kasus Resbob menimbulkan berbagai dampak sosial, antara lain meningkatnya ketegangan antar kelompok di ruang digital, munculnya fenomena penghakiman publik di media sosial, serta menurunnya kualitas diskusi publik. Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa dunia maya bukan ruang tanpa hukum. Di dunia nyata, kasus ujaran kebencian viral Resbob itu menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat, khsusnya masyarakat Sunda yang menginginkan agar orang yang diduga pelaku unggahan yang viral dikenal sebagai Resbob segera dan mendapat hukuman berat. Selengkapnya dampak sosial yang bisa kita lihat dari kauss viral tersebut antara lain : 1. Menimbulkan konflik bahkan berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat. 2. Mengurangi sikap toleransi antar individu dan atau kelompok. 3. Menyebabkan ketegangan sosial. 4. Berpotensi tindakan main hakim sendiri apabila aparat hukum tidak tegas. Upaya Pencegahan Belajar dari Kasus Resbob, kiranya jelas bahwa kita harus dewasa, bijaksana dan berhati-hati dalam beraktifitas di media sosial. Ujaran kebencian, khususnya di media sosial setidaknya bisa berakibat pidana berdasarkan UUITE dan KUHP sebagaimana diuraikan di atas. Untuk mencegah terulangnya kasus serupa, ada beberapa saran untuk para content creatot atau pelaku media sosial agar : 1. Sebelum mengunggah, berpikir akibat yang mungkin timbul karena setiap ujaran kebencian dapat melukai orang lain, memecah persatuan, dan menimbulkan konflik. 2. Gunakan Media Sosial secara bijak. Sampaikan pendapat dengan bahasa yang sopan, santun, dan tidak menyerang kelompok tertentu. 3. Fahami aturan hukum yang berlaku. Ujaran kebencian dapat dikenai sanksi pidana sesuai KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya. 4. Hargai perbedaan Indonesia memiliki keberagaman suku, agama, ras, dan budaya yang harus dijaga bersama. 5. Saring sebelum sharing, saring informasi sebelum membagikan. Pastikan informasi benar dan tidak mengandung provokasi atau kebencian. 6. Hindarkan perdebatan, utamakan dialog positif dan sehat. Jika tidak setuju, sampaikan dengan argumen yang baik tanpa menghina atau merendahkan pihak lain. Penutup Dari analisa singkat atas kasus unggahan viral Resbob di atas, menunjukkan bahwa perbuatan ujaran kebencian di media sosial menyebar sangat cepat, masive dan berdampak luas sehingga merupakan pelanggaran berat yang memiliki konsekuensi hukum dan sosial. Kebebasan berekspresi harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dibarengi kesadaran hukum. Media sosial seharusnya menjadi ruang dialog yang sehat, bukan sarana penyebaran kebencian yang dapat merusak persatuan masyarakat. Media sosial bukan ruang kosong tanpa aturan hukum. Lebih dari itu, jejak digital kasus tersebut bisa tetap terbaca sepanjang masa.[]
🛡️Redaksi: Dosi Bre' 🌐Post Youtube
• ZOOM
PRAPTO PEMPEK :
Dari Pinggir Sungai Batanghari Jambi Menjadi Pelawak Nasional...
Kisah otobiografi Suprapto Suryani Pempek, alias Prapto Pempek atau dipanggil akrabnya PakDe...
Adam Malik Seorang Politikus yang Mantan Jurnalis 'Semua Bisa Diatur'...
Salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 6 November 1998 berdasar...
VIDEO PILIHAN
































